Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 April 2020

Salah Memahami Makna Agama Sesungguhnya


Di sedang masyarakat beredar kaidah-kaidah yang mereka jadikan acuan di di di di dalam beragama. Padahal kaidah-kaidah sehabis itu tidak tersedia asalnya berasal berasal berasal berasal berasal dari para salafus shalih  dan para ulama Ahlussunnah. Terlebih lagi kaidah-kaidah ini membawa kasus dan bertentangan dengan dengan dengan dengan syariat. Diantaranya adalah kaidah-kaidah sehabis itu ini, yang secara umum merupakan kaidah yang batil dan keliru. Walaupun memang, kaidah-kaidah ini dapat dimaknai benar dengan dengan  dengan dengan syarat dan keputusan khusus.

Kaidah: "kita tolong-menolong di di di di dalam perkara yang kita sepakati, dan kita saling beri tambahan udzur di di di di dalam perkara yang kita perselisihkan" Jelas kaidah ini keliru,  bertentangan dengan dengan dengan dengan firman Allah: "saling tolong menolonglah di di di di dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menunjang di di di di dalam dosa dan pelanggaran" (QS. Al Maidah: 2). Ayat ini memperlihatkan bagwa tolong menunjang itu bukan di di di di dalam perkara yang disepakati oleh manusia, tapi di di di di dalam kebaikan dan ketaatan. Jika sekelompok orang setuju

melaksanakan bid’ah, maka senantiasa tidak boleh tolong-menolong di di di di dalam kebid’ahan. Kaidah di atas juga bertentangan dengan dengan dengan dengan firman Allah: "Jika anda tidak serupa pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), kalau anda terlalu beriman kepada Allah dan  hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)

Maka di di di di dalam perkara yang kita perselisihkan, sikap yang benar bukan beri tambahan saling beri tambahan udzur, tapi kita lagi kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadikan dalil sebagai  kata pemutus. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: "Kaidah: kita bersatu di di di di dalam perkara yang kita sepakati, dan kita saling beri tambahan udzur di di di di dalam perkara yang kita perselisihkan. Ini tidak ragu lagi adalah  perkataan yang batil. Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah  Rasul, bukan jadi kita saling bertoleransi dan melepas senantiasa terhadap perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang bersesuaikan dengan dengan dengan dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang tidak benar maka kita tinggalkan. Itulah yang wajib bagi kita, bukan melepas umat senantiasa terhadap perselisihan" (Syarah Ushul As Sittah, hal. 20-21).

Namun, kaidah di atas dapat jadi benar kalau yang dimaksud adalah perkara yang ulama ijma (sepakat) itu disyariatkan, maka sebenarnya benar kita hendaknya saling-menolong. Juga kalau yang dimaksud adalah perkara khilafiyah ijtihadiyyah saaighah, maka sebenarnya benar kita hendaknya saling beri tambahan udzur. Ibnu Hashar memperlihatkan suatu kaidah penting:"Tidak semua khilafiyah itu dianggap, tapi yang diakui khilafiyah adalah yang membawa faktor pendalilan yang benar".

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: "Ada banyak kasus yang para ulama berlapang dada di di di di dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena tersedia lebih berasal berasal berasal berasal dari satu pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar terhadap dalil yang shahih atau terhadap kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka di di di di dalam kasus yang layaknya ini, tidak boleh kita berasumsi orang yang berpegang terhadap pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai pakar bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan seharusnya kita mentoleransi tiap-tiap pendapat sepanjang bersandar terhadap dalil shahih, meskipun kita berasumsi pendapat yang kita pegang itu lebih tepat". (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Kaidah: "lihat apa yang dikatakan, jangan menyaksikan siapa yang berkata" Yang benar, di di di di dalam kasus dunia dan lebih lagi di di di di dalam kasus agama, kita wajib selektif dan perhatikan dengan dengan dengan dengan baik siapa yang berkata? Allah ta’ala berfirman:"Dan sungguh Allah udah menurunkan kebolehan kepada anda di di di di di dalam Al Quran bahwa kalau anda mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah anda duduk beserta mereka, agar mereka memasuki obrolan yang lain. Karena sebenarnya (kalau anda berbuat demikian), tentulah anda serupa dengan dengan dengan dengan mereka. Sesungguhnya Allah dapat menghimpun semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di di di di di dalam Jahannam" (QS. An Nisa: 140).

Ayat ini melarang duduk-duduk di majelis orang yang buruk. Maka artinya, wajib selektif pilih majelis. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:"Diantara tanda kiamat adalah orang-orang menuntut pengetahuan berasal berasal berasal berasal berasal dari al ashaghir (ahlul bid’ah)" (HR. Ibnul Mubarak di di di di dalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai di di di di dalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani di di di di dalam Silsilah Ash Shahihah [695]).Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanti terhadap ahlul bid’ah yang jadi pengajar. Maka ini memperlihatkan wajib selektif di di di di dalam mengambil alih ilmu.

Demikian juga kasus dunia, wajib diamati siapa yang mengatakannya. Allah ta’ala berfirman:"Wahai orang- orang yang beriman, kalau tersedia seorang faasiq mampir kepada kalian dengan dengan dengan dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan hingga kalian menimpakan suatu bahaya terhadap suatu kaum atas dasar kebodohan, sehabis itu sehabis itu kalian jadi menyesal atas perlakuan kalian" (QS. Al-Hujurat: 6).

Maka paham kelirunya kaidah di atas. Namun kaidah di atas dapat benar, kalau di bawakan di di di di dalam bab "menerima kebenaran". Jika suatu perkataan udah tersampaikan, entah disengaja atau tanpa sengaja sampainya, dan itu bersesuaian dengan dengan dengan dengan kebenaran, maka wajib di terima barang siapa yang mengatakannya. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang membawa kabar berasal berasal berasal berasal berasal dari setan tapi dibenarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,Setan berkata, "Biarkan mengajarimu suatu kata-kata yang dapat bermanfaat untukmu". Abu Hurairah bertanya, "Apa itu?" Setan pun menjawab, "Jika engkau hendak tidur, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum‘ hingga selesai. Maka Allah dapat senantiasa menjagamu dan setan tidak dapat mendekatimu hingga pagi

hari". Abu Hurairah berkata, "Aku pun melepas diri setan tersebut. Dan waktu pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku, "Apa yang dikerjakan oleh tawananmu semalam?". Abu Hurairah menjawab, "Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kata-kata yang Allah beri faedah padaku kalau membacanya. Sehingga saya pun melepas dirinya". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apa kata-kata tersebut?" Abu Hurairah menjawab, "Ia memperlihatkan padaku, kalau saya hendak tidur hendaknya membaca ayat kursi hingga selesai, yaitu ayat ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia memperlihatkan padaku bahwa Allah dapat senantiasa menjagaku dan setan pun tidak dapat mendekatimu hingga pagi hari. Dan dahulu para rekan akrab adalah orang-orang yang paling stimulan di

dalam laksanakan kebaikan". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, "Dia (setan) udah memperlihatkan kebenaran, meskipun asalnya dia adalah makhluk yang banyak berdusta. Engkau paham siapa yang bicara padamu di di di di dalam tiga malam kemarin, wahai Abu Hurairah?". Abu Hurairah menjawab: "Tidak tahu". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Dia adalah setan." (HR. Bukhari no. 2311).Perkataan setan senantiasa dibenarkan kalau sebenarnya bersesuaian dengan dengan dengan dengan kebenaran. Dan pasti saja untuk menilai suatu perkataan itu  bersesuaian dengan dengan dengan dengan kebenaran atau tidak, ini wajib ilmu. Bukan dengan dengan dengan dengan kesimpulan baik atau perasaan.

Kaidah: "ambil baiknya, menyingkirkan buruknya" Kaidah ini juga bertentangan dengan dengan dengan dengan dalil-dalil di poin ke dua di atas tentang wajibnya selektif di di di di dalam mencari kebenaran dan mencari ilmu. Bukan ambil berasal berasal berasal berasal berasal dari sembarang orang sehabis itu jadi dapat mengambil alih baiknya dan menyingkirkan buruknya.Kaidah ini juga bertentangan dengan dengan dengan dengan akal sehat. Karena bagaimana dapat saja pencari kebenaran dan penuntut pengetahuan paham mana yang baik dan mana yang buruk, padahal dia baru saja berharap studi dan mencari?! Padahal paham mana yang baik dan mana yang tidak baik wajib kepada ilmu.

Namun kaidah ini dapat benar kalau diterapkan terhadap orang yang mayoritasnya baik dan di atas kebenaran tapi dia tergelincir terhadap lebih berasal berasal berasal berasal dari satu kekeliruan. Seperti waktu berguru terhadap seorang ulama yang berpegang terhadap sunnah dan akidah yang lurus. Maka pasti saja ulama sebagaimana manusia biasa, ia tidak sempurna, kadang waktu tersedia kekurangan di di di di dalam dirinya berbentuk lebih berasal berasal berasal berasal dari satu akhlak yang tidak baik atau lainnya. Maka di sini baru diterapkan, "ambil baiknya, menyingkirkan buruknya". Rasulullah

Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:"Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik" (HR. Ibnu Hibban 94). di di di dalam riwayat lain:"Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kalau kalau terkena hadd" (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani di di di di dalam Ash Shahihah, 638).
Baca selengkapnya

Rabu, 15 April 2020

Memberi Cahaya Mudah Saat Ada Musibah Bencana


Segala puji bagi Allah Zat yang udah menciptakan kematian dan kehidupan di di di di dalam rangka menguji manusia siapakah di terhadap mereka yang paling baik amalnya. Zat yang udah mengutus Rasul-Nya dengan dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas semua agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan rekan akrab juga semua pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk mencapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan kerap kadang membawamu terperosok dan jatuh di
dalam banyak variasi kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu jadi berat bagimu. Dadamu seolah-olah jadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah jadi sempit
bagimu. Apakah suasana ini dapat membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Dan ketahuilah, sebenarnya kemenangan itu beriringan dengan dengan kesabaran. Jalan terlihat beriringan dengan dengan kesukaran. Dan sehabis tersedia kasus itu dapat mampir kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di di di di di dalam Musnad-nya dengan dengan no 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam udah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah cahaya yang panas. Dia beri tambahan keterangan di sekelilingnya dapat tapi sebenarnya jadi panas menyengat di di di di di dalam dad Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala sebabkan sebuah bab di di di di di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar di di di di dalam hadapi takdir Allah juga cabang keimanan kepada Allah).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala memperlihatkan di di di di dalam penjelasannya tentang bab yang terlalu bermanfaat ini:“Sabar tergolong perkara yang mendiami kedudukan agung (di di di di di dalam agama). Ia juga tidak benar satu bagian ibadah yang terlalu mulia. Ia mendiami relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan bagian badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak dapat terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini karena ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau berbentuk larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau dapat juga berbentuk ujian di di di di dalam wujud musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba agar dia senang bersabar tepat menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk laksanakan perintah syariat dan juga hindari larangan syariat dan bersabar hadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu dapat melalui layanan ajaran agama dan melalui layanan keputusan takdir. Adapun ujian dengan dengan ajaran agama sebagaimana tercermin di di di di dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di di di di di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu di di di di dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah jadi ujian. Sedangkan tersedia ujian paham wajib sikap sabar di di di di dalam menghadapinya. Ujian yang tersedia dengan dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan dengan wujud perintah dan larangan.

Untuk laksanakan banyak variasi kewajiban pasti saja diperlukan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan banyak variasi larangan diperlukan bekal kesabaran. Begitu pula tepat hadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) pasti juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh karena itulah lebih berasal berasal berasal berasal dari satu ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar di di di di dalam berbuat taat, sabar di di di di dalam menghambat diri berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari maksiat dan sabar tatkala terima takdir Allah yang jadi menyakitkan.”

Karena terlalu minimal dijumpai orang yang dapat bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun sebabkan sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau laksanakan di di di di dalam rangka memperlihatkan bahwasanya sabar juga bagian berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari kesempurnaan tauhid. Sabar juga kewajiban yang wajib dikerjakan oleh hamba, agar ia pun bersabar menjamin keputusan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak senang sabar itulah yang banyak terlihat di di di di dalam diri orang-orang tatkala mereka mencapai ujian berbentuk ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau sebabkan bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah tentang yang wajib dikerjakan tatkala tertimpa takdir yang jadi menyakitkan. Dengan tentang itu beliau juga berharap beri tambahan penegasan bahwa bersabar di di di di dalam rangka menggerakkan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar berarti tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh di di di di dalam suasana “shabr”) yaitu tatkala dia berada di di di di dalam tahanan atau sedang diikat sehabis itu dibunuh, tanpa tersedia perlawanan atau peperangan. Dan demikian inti makna kesabaran yang dipakai di di di di dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menghambat hati untuk tidak jadi marah dan menghambat bagian badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan di di di di dalam wujud menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut makna syariat, sabar artinya: “Menahan lisan berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari mengeluh, menghambat hati berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari marah dan menghambat bagian badan berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari menampakkan kemarahan dengan dengan langkah merobek-robek suatu tentang dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di di di di di dalam Al Quran kata sabar disebutkan di di di di dalam 90 area lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak membawa kesabaran di di di di dalam menggerakkan ketaatan, tidak membawa kesabaran untuk hindari maksiat dan juga tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala hadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu membawa cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau berharap beri tambahan penegasan bahwa sabar juga tidak benar satu cabang keimanan. Beliau juga beri tambahan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang memperlihatkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga juga tidak benar satu cabang kekufuran. Sehingga tiap-tiap cabang kekafiran itu wajib dihadapi dengan dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia wajib dihadapi dengan dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang jadi menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391). Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Tidaklah tersedia sebuah musibah yang menimpa kalau dengan dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah dapat beri tambahan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha paham segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di di di di di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengumumkan bahwa semua musibah yang menimpa seorang individu di terhadap umat manusia, baik yang tentang dengan dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya cuma dapat berlangsung dengan dengan karena takdir berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah. Sedangkan keputusan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak dapat dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini berlangsung dengan dengan keputusan dan takdir Allah niscaya Allah dapat beri tambahan taufik kepadanya agar dapat untuk jadi ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena percaya terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha paham segala tentang yang dapat sebabkan hamba-hambaNya jadi baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).Alqamah, tidak benar seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini bicara tentang seorang laki laki yang tertimpa musibah dan dia paham bahwa musibah itu berasal berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari faktor Allah maka dia pun jadi ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala memperlihatkan di di di di dalam penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:“Ini merupakan tafsir berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan
firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah dapat beri tambahan hidayah ke di di di di dalam hatinya,’ disebutkan di di di di dalam konteks ditimpakannya musibah
sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ berarti ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan laksanakan perintah-Nya dan juga hindari larangan-Nya.

‘Niscaya Allah dapat beri tambahan hidayah ke di di di di dalam hatinya,’ yaitu agar bersabar. ‘Allah dapat beri tambahan hidayah ke di di di di dalam hatinya’ agar tidak jadi marah dan tidak terima. ‘Allah dapat beri tambahan hidayah ke di di di di dalam hatinya,’ yaitu untuk menunaikan banyak variasi macam ibadah. Oleh karena itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini bicara tentang seorang laki laki yang tertimpa musibah dan karena dia paham bahwa musibah itu berasal berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari faktor Allah maka dia pun jadi ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah persentase iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).

Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah: Keburukan itu juga juga perkara yang udah ditakdirkan tersedia oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang jadi karena hati dapat mencapai hidayah dan merasakan ketenteraman diri. Penjelasan tentang pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala. (Al Jadiid, hal. 314). Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:“Hukum jadi ridha dengan dengan tersedia musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh maka berasal berasal berasal berasal dari itu banyak orang yang tersedia kasus membedakan terhadap ridho dengan dengan sabar.

Sedangkan kesimpulan yang tepat untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar hadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah tidak benar satu kewajiban yang wajib ditunaikan. Hal itu karena di di di di di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap keputusan dan takdir Allah. Adapun ridho membawa dua sudut pandang yang berlainan:Sudut pandang pertama, terarah kepada tingkah laku Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba jadi ridho terhadap tingkah laku Allah yang mengambil alih keputusan terjadinya segala sesuatu. Dia jadi ridho dan senang dengan dengan tingkah laku Allah. Dia jadi senang dengan dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia jadi ridho terhadap bagian bagian yang didapatkannya berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho terhadap tingkah laku Allah ini juga tidak benar satu kewajiban yang wajib ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang wajib ada).

Sudut pandang kedua, terarah kepada tentang yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum jadi ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk jadi ridho dengan dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk jadi ridho dengan dengan karena kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk jadi ridho dengan dengan karena kehilangan hartanya. Namun tentang ini hukumnya mustahab (disunahkan).Oleh karena itu di di di di dalam konteks sehabis itu (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini bicara tentang seorang laki laki yang tertimpa musibah dan dia paham bahwa musibah itu berasal berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari faktor Allah maka dia pun jadi ridha’ yaitu jadi senang terhadap keputusan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia paham musibah itu datangnya berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari faktor (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah tidak benar satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).

Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah berharap kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan kalau Allah berharap keburukan terhadap hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu
hingga dibayarkan di tepat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan dengan no 2396 di di di di di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran hadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim di di di di dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia dicantumkan di di di di dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan dengan no 1220).“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia jadi karena dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran agar orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap lagi taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala dan juga memalingkan ketergantungan hatinya berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari

sesama makhluk, dan banyak variasi maslahat agung lainnya yang terlihat karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai karena penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini juga nikmat yang paling agung. Maka semua musibah terhadap hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi total makhluk, kalau kalau musibah itu sebabkan orang yang tertimpa musibah jadi terjerumus di di di di dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum saat dapat waktu waktu dapat dapat tertimpa. Apabila itu yang berlangsung maka ia jadi keburukan baginya, kalau ditilik berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.Sesungguhnya tersedia di terhadap orang-orang yang kalau mendapat ujian dengan dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru sebabkan munculnya sikap munafik dan protes di di di di dalam dirinya, atau terlebih penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan lebih berasal berasal berasal berasal dari satu kewajiban yang dibebankan padanya dan jadi berkubang dengan dengan banyak variasi tentang yang diharamkan agar berakibat jadi membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesegaran lebih baik baginya. Hal ini kalau ditilik berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari faktor

pengaruh yang timbul sehabis dia mengalami musibah, bukan berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari faktor musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan dengan musibahnya dapat melahirkan sikap sabar dan tunduk laksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri berlangsung sesuai dengan dengan keputusan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan dengan suatu musibah sehabis itu diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus maka berasal berasal berasal berasal dari itu maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah). Dan kalau dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga dapat mencapai pujian-Nya.“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Rabb mereka dan mencapai curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah atas dosa-dosanya juga dapat didapatkan, begitu pula derajatnya pun dapat terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia dapat mencapai balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan dengan ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).Dari hadits di atas kita dapat memetik lebih berasal berasal berasal berasal dari satu pelajaran berharga, yaitu:Penetapan bahwa Allah membawa cii-ciri Iradah (berkehendak), pasti saja yang sesuai dengan dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.Kebaikan dan keburukan sama-sama udah ditakdirkan berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah ta’ala.Musibah yang menimpa orang mukmin juga tanda kebaikan. Selama tentang itu tidak menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau laksanakan yang diharamkan.

Hendaknya kita jadi khawatir dan berhati-hati terhadap nikmat dan kesegaran yang sepanjang ini senantiasa kita rasakan.Wajib berprasangka baik kepada Allah atas keputusan takdir tidak mengenakkan yang udah diputuskan-Nya berlangsung terhadap diri kita.Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah wajib berarti Allah meridhoi orang tersebut. (Al Jadiid, hal. 320 dengan dengan sedikit penyesuaian redaksional). Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar

Allah ta’ala berfirman, “Sungguh Kami dapat menguji kalian dengan dengan sedikit rasa takut, kelaparan dan juga kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang kalau tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kita ini berasal berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah, dan kita juga dapat lagi kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang dapat mencapai ucapan sholawat (pujian) berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mencapai hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah bicara di di di di di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini memperlihatkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak terima lawan darinya, berbentuk celaan berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari Allah, siksaan, kesesatan dan juga kerugian. Betapa jauhnya perbedaan terhadap ke dua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar kalau dibandingkan dengan dengan besarnya penderitaan yang wajib ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah bicara di di di di di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku umum untuk semua type kesabaran. Sabar di di di di dalam hadapi takdir Allah yang jadi menyakitkan, yaitu hamba tidak jadi marah karenanya. Sabar berasal berasal berasal berasal berasal berasal dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan dengan langkah tidak berkubang di dalamnya. Bersabar di di di di dalam laksanakan ketaatan kepada-Nya, agar dia pun jadi lapang di di di di dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, berarti tanpa batasan khusus maupun angka khusus ataupun ukuran tertentu. Dan tentang itu tidaklah dapat diraih kalau disebabkan karena begitu besarnya keutamaan cii-ciri sabar dan agungnya kedudukan sabar di faktor Allah, dan memperlihatkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar. Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Baca selengkapnya

Minggu, 12 April 2020

Orang yang Paling Rugi di Semua Dunia Agama


Orang yang udah beramal tapi tidak mencapai faedah apa-apa berasal berasal berasal berasal berasal dari amalannya tersebut, maka ia orang yang merugi. Dan tersedia orang yang paling merugi lagi, yaitu orang yang tidak mencapai faedah apa-apa berasal berasal berasal berasal berasal dari amalannya tapi ia tidak menyadarinya. Allah ta’ala berfirman:“Katakanlah: “Apakah dapat Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang udah sia-sia perbuatannya di di di dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi: 103-104).

Penjelasan Para Ulama Mari kita menyaksikan penjelasan para ulama tentang siapakah mereka orang-orang yang merugi tersebut? Al Baghawi rahimahullah menjelaskan:“Para ulama tidak serupa pendapat tentang siapa orang yang merugi di di di dalam ayat ini. Ibnu Abbas dan Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan: mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagian mufassirin mengatakan: mereka adalah ruhban (pendeta Nasrani)” (Tafsir Al Bagahwi). Imam Ath Thabari membawakan sebuah riwayat berasal berasal berasal berasal berasal dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu:

Dari Ali bin Abi Thalib, waktu ia ditanya tentang firman Allah ta’ala (yang artinya) “Katakanlah: “Apakah dapat Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Beliau menjawab: mereka adalah orang-orang kafir berasal berasal berasal berasal berasal dari kalangan Ahlul Kitab. Awalnya mereka di atas kebenaran, sehabis itu mereka berbuat syirik terhadap Rabb mereka. Dan mereka sebabkan kebid’ahan-kebid’ahan, yang mereka laksanakan dengan dengan terlalu di di di dalam kebatilan. Dan mereka berasumsi amalan mereka itu benar. Sehingga mereka pun bersungguh-sungguh di di di dalam kesesatan dan berasumsi diri mereka di atas petunjuk. Maka sesatlah mereka di di di dalam kehidupan dunia dan mereka mengira diri mereka sedang laksanakan kebaikan” (Tafsir Ath Thabari).

Maka orang yang paling merugi amalannya adalah orang-orang yang kufur kepada Allah, diantaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka berbuat syirik kepada Allah tapi mereka berasumsi diri mereka sedang laksanakan kebaikan. Sebagaimana disebutkan di di di dalam sambungan ayat:“Mereka itu orang-orang yang udah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka terhadap hari kiamat” (QS. Al Kahfi: 105). Al Imam Al Qurthubi rahimahullah juga menjelaskan
“Ibnu Abbas berkata: yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang kafir Mekkah. Ali (bin Abi Thalib) berkata: yang dimaksud ayat ini adalah khawarij masyarakat Harura. Dalam peluang yang lain, Ali berkata: mereka adalah para pendeta yang tinggal di shuma’ah (tempat ibadah)” (Tafsir Al Qurthubi).

Imam Ath Thabari membawakan sebuah riwayat lain berasal berasal berasal berasal berasal dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu:“Dari Abu Ath Thufail, ia berkata: Abdullah bin Al Kawwa’ bertanya kepada Ali tentang firman Allah ta’ala (yang artinya) “Katakanlah: “Apakah dapat Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?””. Ali menjawab: itu adalah kalian wahai masyarakat Harura’ (Khawarij)” (Tafsir Ath Thabari).Maka tidak benar satu orang yang paling merugi adalah ahlul bid’ah, juga di dalamnya kaum Khawarij.  Karena tidak tersedia pelaku kebid’ahan, kalau ia mengira sedang
melakukan kebaikan dengan dengan kebid’ahanya tersebut. Oleh karena itu Sufyan Ats Tsauri rahimahullah hingga mengatakan:“Kebid’ahan itu lebih dicintai oleh iblis berasal berasal berasal berasal berasal dari terhadap maksiat, karena pelaku bid’ah tersedia kasus bertaubat sedang pelaku maksiat ringan bertaubat” (Syarhus Sunnah Al

Baghawi, 1/216). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sungguh Allah menghambat taubat berasal berasal berasal berasal berasal dari tiap tiap pelaku bid’ah hingga ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani di di di dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani di di di dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)Dan semua orang yang amalannya batil dan tidak sesuai dengan dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam baik berbentuk kekufuran, kesyirikan dan kebid’ahan, maka pelakunya adalah orang-orang yang merugi. Amalannya tidak diridhai oleh Allah dan tidak di terima oleh Allah. Dijelaskan Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah:

“Firman Allah [orang-orang yang udah sia-sia perbuatannya di di di dalam kehidupan dunia ini] maksudnya orang-orang yang mengamalkan amalan-amalan yang batil, tidak sesuai syariat yang diridhai dan di terima oleh Allah. [sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya] maksudnya mereka berkeyakinan bahwa mereka berada di atas kebaikan dan terlalu percaya amalan mereka di terima dan dicintai Allah” (Tafsir Ibnu Katsir).
Baca selengkapnya

Kamis, 09 April 2020

Membuka Pintu Hati Pemimpin Raja Surrga


Mengetuk Pintu Sang Raja Sahabat ‘Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dulu berujar,“Engkau sedang mengetuk pintu Sang Raja di sepanjang shalat. Dan tiap-tiap orang yang mengetuknya, niscaya dapat dibukakan jalan keluar.” [Shifat ash-Shafwah, 1:156]Siapakah Raja dimaksud, yang senantiasa kita ketuk pintu-Nya di tiap-tiap kali shalat? Tentulah Dia adalah Allah, Rabb semesta alam, yang di Tangan-Nya-lah segala perbendaharaan bumi dan langit berada, begitu pula dengan dengan dengan dengan semua perbaikan hati dan suasana yang dialami hamba.

Kesempatan mengetuk pintu Sang Raja tidaklah terbatas di tepat pelaksanaan shalat lima tepat semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala beri tambahan banyak peluang sepanjang siang dan malam. Hebatnya lagi, Allah Ta’ala justru bergembira kalau para hamba-Nya senantiasa mengetuk pintu-Nya, memanjatkan keinginan dan keinginan kepada-Nya. Hal yang sungguh tidak serupa kalau kita laksanakan tentang yang serupa kepada makhluk. Mereka dapat menggerutu dan justru jemu dengan dengan dengan dengan keinginan yang kita laksanakan terus-menerus!

Kesempatan kita untuk mengetuk pintu Sang Raja adalah peluang yang berharga, tapi tidak wajib berharap izin atau sebabkan janji sebagaimana tentang itu wajib dikerjakan terlebih dahulu kalau kita berharap bertemu dengan dengan dengan dengan raja-raja dan orang-orang wajib di dunia. Kesempatan yang merupakan nikmat luar biasa layaknya yang dikatakan al-Muzani rahimahullah,

“Siapakah yang hidupnya lebih nikmat darimu, wahai anak cucu Adam?! Engkau dapat berkhalwat di di di di dalam mihrab bermodalkan air untuk berwudhu, agar tiap-tiap kali berharap bertemu dengan dengan dengan dengan Allah, Engkau tinggal masuk ke di di di dalam mihrab dan mengerjakan shalat, di mana Engkau dapat berkomunikasi dengan dengan dengan dengan Allah tanpa tersedia penerjemah.” [az-Zuhd, hlm. 246]

Bukan Berarti Solusi dapat Otomatis dan Segera Diberikan Akan tetapi, waktu rekan baik Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu memperlihatkan bahwa tiap-tiap orang yang mengerjakan shalat sedang mengetuk pintu Allah Ta’ala dan pasti dapat menemui solusi atas kasus hidup yang dikeluhkannya, tentang itu bukan berarti bahwa solusi dapat otomatis dan segera diberikan. Terkadang Allah Ta’ala menunda untuk mengakses pintu-Nya dan beri tambahan solusi bagi kasus yang dihadapi hamba-Nya karena tersedia hikmah yang mendalam. Dengan demikian, tersedia kebaikan di atas kebaikan yang dapat saja tidak dapat diperoleh hamba waktu do’a dan permintaannya segera dikabulkan Allah Ta’ala!

Boleh jadi tertundanya jalan terlihat atas kasus yang dihadapi hamba melahirkan banyak variasi ibadah terhadap diri hamba layaknya ikhbaat (merendahkan diri di hadapan Allah) dan inaabah (kembali kepada Allah); merasakan kelezatan tatkala memohon dan bermunajat kepada Allah; dan banyak variasi ibadah kalbu yang membawa kehidupan bagi hati, yang dapat saja tidak dulu terbayang di di di dalam benak hamba sebelumnya.

Setiap orang yang senantiasa menerus mengetuk pintu Sang Raja, pasti dapat mencapai solusi atas permasalahannya. Akan tetapi, apakah hakikat solusi itu? Apakah cuma terkabulnya do’a semata? Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengabulan do’a itu cuma tidak benar satu respon atas do’a yang dipanjatkan hamba. Terkadang Allah menghambat musibah agar tidak menimpa hamba, yang dapat jadi lebih tidak baik berasal berasal berasal berasal berasal dari kasus yang sedang dihadapi. Atau Allah menundanya agar balasannya diberikan kelak di hari kiamat. Minimal, dan pasti tentang ini bukan berarti sedikit, Allah dapat mengambil alih keputusan pahala atas upayanya mengetuk pintu Sang Raja, pahala yang pasti terlalu diperlukan karena lebih membawa nilai daripada seisi dunia di tepat semua hamba membaca lembaran-lembaran catatan amalnya.

Solusi yang lebih besar berasal berasal berasal berasal berasal dari itu semua adalah Allah Ta’ala menjadikan hamba cinta dan larut di di di dalam kesenangan bermunajat, memanjatkan do’a kepada-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Tidak tersedia nikmat dunia yang sebanding dengan dengan dengan dengan itu, dan tidak tersedia musibah yang lebih besar waktu hamba kehilangan sehabis dapat merasakannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,“Terkadang hamba mengalami permasalahan, agar dia pun membawa obyek memanjatkan keperluan dan memohon solusi berasal berasal berasal berasal berasal dari kesulitan. Hal itu mendorongnya untuk berharap

dan merendahkan diri di hadapan Allah, yang merupakan tidak benar satu wujud ibadah dan ketaatan. Pertama kali boleh jadi obyek hamba itu adalah sekadar mencapai rizki, pertolongan, dan keselamatan yang diinginkan. Namun, do’a dan perendahan diri membukakan pintu keimanan, makrifat, dan kecintaan kepada Allah; beri tambahan peluang kepada dirinya untuk bersenang-senang dengan dengan dengan dengan berdzikir dan berdo’a kepada-Nya, yang semua itu sebenarnya lebih baik baginya dan lebih membawa nilai daripada keperluan duniawi yang diinginkannya. Inilah tidak benar satu wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, di mana Dia menggiring hamba untuk memanjatkan keperluan dunianya, tapi beri tambahan hasil mulia yang membawa kebaikan terhadap agama” [Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, 3: 312-313]Semoga Allah Ta’ala tidak menghambat diri kita berasal berasal berasal berasal berasal dari kelezatan bermunajat kepada-Nya dan kenyamanan berdekatan dengan-Nya.
Baca selengkapnya

Senin, 06 April 2020

Memeluk Agama Dalam Pancasila yang Benar dan Lengkap


Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi meluruskan pernyataannya soal 'agama musuh Pancasila' yang sebabkan gaduh. "Yang saya maksud adalah bahwa Pancasila sebagai konsensus tertinggi bangsa Indonesia wajib kita jaga sebaik mungkin. Pancasila itu agamis karena kelima sila  Pancasila dapat ditemukan dengan dengan ringan di di di dalam Kitab Suci keenam agama yang diakui secara konstitusional oleh NKRI," ujar Yudian di di di dalam penjelasan resminya, Jumat  (14/2), yang diunggah account Twitter BPIP, @BPIPRI, Selasa (14/2) pagi. Namun, oleh orang-orang khusus yang membawa pemahaman sempit dan ekstrem.

"Padahal mereka itu minoritas (yang mengklaim mayoritas). di di di dalam konteks inilah, "agama" dapat jadi musuh terbesar," kata dia. Sebelumnya, menjawab pertanyaan wawancara khusus CNNIndonesia TV, Yudian mengatakan,"Ada kelompok-kelompok yang membenturkan konsensus nasional sebagai hukum tertinggi  dengan dengan penafsiran mereka sepihak." Ia memastikan bangsa Indonesia ini merujuk terhadap dasar negaranya adalah beragama karena terhadap Pancasila terkandung kata religius yaitu ketuhanan. "Tapi tersedia juga segmen yang belum senang terima ini [Pancasila] sebagai kesadaran bersama. Maka, mereka senantiasa berasumsi penafsiran mereka itu lah yang lebih  tinggi," kata Yudian.

"Misalnya tersedia orang yang menyebut pancasila itu toghut... Nanti kalau berlangsung konflik agama, betul enggak agama sebagai pemecah belah utama. kan begitu toh. Nah  makanya kita wajib kelola ini," ujar Yudian. "Jadi barang siapa yang hidup di negara ini terikat dengan dengan konsensus nasional bahwa kita ini negara Pancasila dengan dengan segala turunannya," imbuhnya. Berikut pernyataan lengkap klarifikasi Yudian tentang 'Agama Musuh Pancasila' yang diunggah account Twitter BPIP, @BPIPRI, Selasa (14/2) pagi. 'Yang saya maksud adalah bahwa Pancasila sebagai konsensus tertinggi bangsa Indonesia wajib kita jaga sebaik mungkin. Pancasila itu agamis karena kelima sila

Pancasila dapat ditemukan dengan dengan ringan di di di dalam Kitab Suci keenam agama yang diakui secara konstitusional oleh NKRI. Namun terhadap kenyataannya, pancasila kerap  dihadap-hadapkan dengan dengan agama oleh orang-orang khusus yang membawa pemahaman sempit dan ekstrim, padahal mereka itu minoritas (yang mengklaim mayoritas). Dalam konteks  inilah, "agama" dapat jadi musuh terbesar karena mayoritas, terlebih tiap-tiap orang, beragama, padahal Pancasila dan Agama tidak bertentangan, terlebih saling  mendukung.' "Si Minoritas ini berharap melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya  agama, bukan kesukuan," kata Yudian. (kid)
Baca selengkapnya